This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 01 Januari 2018

LUDWIG WITTGENSTEIN
Oleh : Ryan Putra Langgeng Asmoro
IAIN Surakarta : Aqidah dan Filsafat Islam 
A. Biografi Ludwig Wittgenstein
Ludwig Josef Johann Witrgenstein lahir di Vienna pada tanggal 26 April 1988. Witrgenstein merupakan anak termurah dari delapan bersaudara (lima laki-laki dan tiga perempuan).  Ayahnya berasal dari famili Yahudi yang telah memeluk agama Kristen Protestan dan ibunya beragama Katolik. Ayahnya adalah seorang insinyur yang dalam jangka waktu sepuluh tahun sudah menjadi pempinan suatu industri baja yang besar. 
Pada tahun 1906 Wittgenstein mulai belajar di suatu Sekolah Tinggi Teknik di Berlin. Pada tahun 1908 ia melanjutkan studi teknik di Manchester (Inggris). Disana ia mengadakan riset dalam bidang pesawat terbang, khususnya mesin jet dan baling-baling. Karena untuk teknik baling-baling perlu banyak pengetahuan tentang matematika, perhatiannya semakin tertarik oleh matematika dan filsafat matematika. 
Sekitar tahun 1912 ia ke Cambridge, untuk studi pada Russell dalam filsafat ilmu pasti dan logika. Pada permulaan perang (1914) ia menjadi tentara Austria, tapi selam perang itu ia sempat menyelesaikan bukunya Tractatus Logico-Pholosophicus.  Yang diselesaikan pada tahun 1918. Ketika pada tahun yang sama ia dijadikan tahan perang oleh tentara Italia, naskah bukunya terdapat dalam ranselnya. Masih dalam tahan ia dapat mengirimkan sebuah  kopi naskah ke Russell dan Greget. Dengan perantara Russell ia dibebaskan pada tahun 1918. 
Sejak tahun 1920 ia menjadi guru di Austria Samapi tahun 1926 lalu menjadi arsitek selama dua tahun. Pada tahun 1929 ia kembali ke Cambridge dan menjadi dosen di Cambridge.  Berdasarkan bukunya Tractatus ia digelari doktor filsafat.  Setelah itu ia tidak menerbitkan buku lagi kecuali kalah untuk kuliah.  Tahun 1947-1951 ia hidup di Irlandia, dalam suasana agak depresi. Beberapa karyanya diterbitkan oleh pengikut-pengikutnyasesudahbia meninggal. 

B. Tractatus Logico-Philosophicus : Wittgenstein I
Tractatus Logico-Philosophicus merupakan sebuah karya filsafat yang dirumuskan secara padat, dan disusun berdasarkan berbagai dalil. Ada tujuh dalil utama yang masing-masing dibagi dalam pecahan desimal, kecuali dalil ketujuh sebagai penutup.  Kendatipun untuk ukuran suatu karya filsafat, Tractatus bukanlah sebuah karya tulis yang panjang, namun isinya memuat dasar-dasar pemikiran dari pengarangnya.  Tractatus diterbitkan tahun 1912 dalam bahasa Jerman; dan tahun 1922 dalam bahasa Inggris.  Analisa bahasa telah mendapat tempat di gelanggang filsafat, terutama di Inggris. Nama besar Wittgenstein mulai dikenal orang sebagai salah satu tokoh utama “Atomisme Logik”  dismping Russel.  
Dalam bukunya Tractatus atau lebih dikenal sebagai Wittgenstein I membahas tentang konsep atomisme logik, bahasa logika, teori gambar, konsep nyata dan konsep formal, serta batas filsafat. 
Dalam pengantar Tractatus, Wittgenstein menyoroti persoalan besar kekacauan bahasa sebagai penyebab sulitnya memahami persoalan-persoalan yang disajikan filsafat. Kekacauan bahasa itu disebabkan oleh kesalah pahaman dalam penggunaan bahasa logika, yang mengakibatkan tidak adanya “tolok ukur” yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan filsafat itu bermakna dan kosong belaka.  Oleh karena itu agar terhindar dari persoalan semacam itu, maka sangat perlu disusun suatu kerangka ideal bagi filsafat. Munculnya pemikiran seperti ini, adalah sebagai akibat dari ketidak percayaan Wittgenstein terhadap penggunaan bahasa sehari-hari bagi filsafat.  Disini Wittgenstein menganggap bahwa bahasa filsafat adalah bahasa logika bukan bahasa sehari-hari.
Dalam suatu pandangannya yang jenius, menurut Wittgenstein bahwa bahasa logika yang sempurna adalah menggandung aturan-aturan tata kalimat (sintaksis) tertentu, sehingga dengan begitu ia mampu mencegah ungkapan-ungkapan yang tidak bermakna, dan mempunyai simbol tunggal yang selalu bermakna unik dan terbatas keberadaannya.  
Menurutnya, proposisi dan persoalan utama yang terdapat dalam filsafat terdahulu itu bukannya salah, melainkan tidak dapat dipahami. Hal ini karena mereka tidak mengerti bahasa logika. Kita tidak dapat memikirkan sesuatu yang tidak logis, karena hal itu akan membuat kita berpikir tidak logis pula.  Salah satu fungsi filsafat adalah menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan (atau difikirkan) dengan menghadirkan secara jelas sesuatu yang dapat dikatakan.  
Sebagaimana halnya dengan Russel, Wittgenstein juga bertitik-tolak pada bahasa logika untuk merumuskan persoalan filsafat.  Salah satu unsur penting sekali dalam uraiannya adalah apa yang disebut picture theory atau “teori gambar” yang dapat dianggap sebagai teori makna. Sebagaimana tersirat dalam buku ini, Wittgenstein berpendapat bahwa bahasa menggambarkan realita dan makna itu tidak lain daripada menggambarkan suatu keadaan faktual dalam realitas melalui bahasa.  Teori gambar yang dikembangkan Wittgenstein ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori isomorfi (kesepadanan) Russel.  
G.H. Von Wrige salah satu sahabat Wittgenstein menjelaskan, fungsi teori gambar terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan suatu dalam realitas. Hal itulah yang sangat ditekankan oleh Wittgenstein, sehingga kita dapat saja membalik arti kiasannya (analogi) dengan mengatakan bahwa proposisi itu berfungsi seperti sebuah gambar karena ada hubungan yang sesuai antara unsur-unsur gambar itu dengan dunia fakta. Cara itu dilakukan dengan menggabungkan bagian-bagian porposisi- struktur proposisi menggambarkan kemungkinan bagi kombinasi uunsur-unsu rdalamrealitas, yaitu suatu kemungkinan mengabaikan keadaan faktual atau suatu bentuk peristiwa.  Selanjutnya, Wittgenstein berkeyakinan bahwa ucapan kita mengandung satu atau lebih proposisi elementer, yaitu proposisi yang tidak dapat dianalisis lagi. 
Proposisi itu adalah gambaran realitas, jika saya memahami proposisi itu berarti saya mengetahui bentuk-bentuk peristiwa/ keadaan-keadaan faktual yang dihadirkan melalui proposisi tersebut. Dan saya dengan mudah dapat memahami proposisi itu tanpa perlu dijelaskan pengertian yang terkandung di dalamnya.  Sebuah proposisi harus dapat menunjukkan pengertian tertentu tentang realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan pada proposisi seperti itu hanya perlu mengatakan “ya” atau “tidak” untuk menyetujui realitas yang dikandungnya.  Pengertian lain, bahwa struktur yang ada dalam proposisi berkesesuaian dengan struktur realitas adalah seperti sesuainya peta atau gambar kota dengan kota itu sendiri. 
Kesesuaian antara penggunaan alat bahasa (gramatikal) dan makna yang dikandung objek realitas yang diperbincangkannya (semantik) akan memudahkan siapapun dalam memahami sebuah ungkapan Filsafat (proposisi) karena pengertian yang dinyatakan menggambarkan dengan jelas fakta yang dikandung realitas itu. 
Wittgenstein tidak pernah memberikan contoh tentang proposisi elementer (meski dalam pengantar Tractatus yang ditulis Russel itu kita menjumpai contoh tentang proposisi elementer) namun ia berkeyakinan bahwa ia mempunyai alasan baik untuk menuntut adanya proposisi elementer biarpun contohnya tidak bisa disebutkan.  
Wittgenstein yang berkeyakinan bahwa bahasa yang digunakan oleh filsuf terdahulu terdapat kerancuan sehingga sulit dipahami, maka ia mengembangkan filsafat analitik untuk membenarkan bahasa dari filsuf terdahulu.  Salah satu upaya yang dilakukan Wittgenstein untuk menunjukkan kerancuan yang terjadi dalam bahasa filsafat itu yaitu membedakan konsep nyata dengan konsep formal.  Wittgenstein melihat, kerancuan dalam bahasa filsafat timbul karena para filsuf mencampuradukan pemakaian konsep nyata  dengan konsep  formal.  Konsep formal sebenarnya bukan konsep, hanya merupakan satu nama yang variabel, yang harus di isi oleh konsep nyata.  Sedangkan konsep nyata adalah istilah atau rangkaian kata yang berkaitan langsung dengan realitas.  Pegangan metodis untuk menentukan konsep nyata ialah, kalau dapat difahami pengingkaran ucapan mengenai konsep yang bersangkutan. 
Wittgenstein memiliki keyakinan ada beberapa hal yang tidak dapat diungkapkan dalam proposisi. Wittgenstein berpendapat, “sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan, sebaiknya didiamkan saja”.  Disinilah Wittgenstein mengungkapkan batas filsafat menurutnya karena hal-hal ini bersifat mistis.  Hal-hal itu adalah sebagai berikut :
1. Subjek; menurut Wittgenstein, “ subjek tidak termasuk dalam lingkup dunia,melainkan hanya merupakan suatu batas dunia”. 
2. Kematian; bagi Wittgenstein, “ kematian bukanlah merupakan suatu peristiwa kehidupan, sebab kematian itu bukanlah merupakan kehidupan yang dijalani”. 
3. Allah; menurut Wittgenstein, “ Allah tidak mengakan diri-Nya dalam dunia.” 
C. Philosophical Investigation : Wittgenstein II
Philosophical Invetigations merupakan karya dari Wittgenstein, buku ini muncul setelah bukunya yang sangat fenomenal yaitu Tractatus Logico-Philosophicus. Buku ini sama fenomenalnya dengan buku Tractatus. Bahkan juga menjadi rujukan bagi generasi setelahnya. Bahkan rasa ada yang kurang atau malah cacat ketika berbicara filsafat analitik atau filsafat bahasa tapi tidak membicarakan Philosophical Investigation atau yang juga dikenal sebagai Wittgenstein II.
Buku ini diterbitkan untuk pertama kali pada 1953 ( dua tahun setelah kematiannya) dalam teks bahasa Inggris disamping teks aslinya bahasa Jerman, Philosophical Untersuchung. Berbeda dari karyanya yang pertama (yang disuguhkan dalam bentuk dalil yang ketat dan rumit) Philosophical Investigation ini disusun dalam bentuk section yang terdiri dari banyak contoh yang mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Ada kesan tersendiri yang tampak dalam Philosophical Investigation ini yaitu, ilupaya menghindari penggunaan bahasa logika dalam merumuskan konsepsi filsafatnya. 
Dalam karyanya yang kedua ada perbedaan yang bisa dikatakan sebagai bentuk penolakan dari pemikiran yang tertuang dalam buku pertamanya. Penolakan itu terdapat dalam tiga hal berikut :
1. Bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan state of affairs (keadaan faktual),
2. Bahwa kalimat mendapat maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan satu kejadian faktual, dan
3. Bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat. 
Dalam periode keduanya ini Wittgenstein berfokus pada tata permainan bahasa atau language games. Tata permainan bahasa ini adalah proses mengeluh penggunaan kata, termasuk juga pemakaian bahasa yang sederhana sebagai suatu bentuk permainan. Konon istilah permainan tata bahasa timbul sebagai suatu gagasan filsafat ketika suatu hari Wittgenstein melihat sebuah pertandingan sepak bola. Tiba-tiba melintas dalam benaknya bahwa sesungguhnya dalam bahasa, kita pun terlibat dalam suatu bentuk permainan kata. 
Bagi Wittgenstein, pada periode ini, kalimat akan mendapat maknanya dalam kerangka acuan language games, yaitu pada banyaknya penggunaan kalimat dalam bahasa sehari-hari. “Makna sebuah kata bergantung pada penggunaanya dalam kalimat, sedang makna kalimat bergantung penggunaannya dalam bahasa”. Begitulah kata Wittgenstein. Dengan kata lain makna kata-kata sangat bergantung pada situasi, tempat dan waktu. Hal ini karena kata-kata itu memiliki fungsi masing-masingsesuai dengan pemakaiannya.  Menurut Wittgenstein bahasa mempunyai bermacam-macam penggunaan bahasa dan kita perlu menyelidiki bagaimana kata-kata kunci dan ekspresi-ekspresi berfungsi dalam bahasa sehari-hari, yakni bahasa biasa bukan bahasa logika.  Karena dalam sebuah permainan ada aturan, maka dalam oeaiann bahasa pun juga ada aturannya. 
Sebenarnya, dengan language games itu Wittgenstein hendak menunjukkan tentang kesalahan dan sekaligus kelemahan dari bahasa filsafat yang telah dipraktikkan oleh banyak filosof. Dengan demikian, filsafat pada Wittgenstein adalah berfungsi sebagai terapi.  Tugas filsafat, kata Wittgenstein, sebaiknya tidak menerangkan apa-apa. Filsafat sekali-kali tidak boleh campur tangan dalam penggunaan bahasa intelektual, ia hanya dapat melukiskan pemakaian itu. Filsafat juga tidak memberikan pendasaran kepada pemakaian bahasa itu. 
Tata permainan bahasa meliputi : “memberi perintah serta mematuhinya, menggambarkan suatu objek, menyesuaikan suatu objek melalui pemberian, menyusun dan menguji suatu hipotesa, menuduh hasil suatu percobaan dalam bentuk tabel dan diagram ... .” (Philosophical Investigation, sect. 23).  Setiap permainan bahasa memiliki atauran yang berbeda-beda. Oleh karena itu mustahil dapat ditentukan aturan umum yang dapat merangkum berbagai bentuk permainan bahasa tersebut, di sini terlihat penyangkalan Wittgenstein terhadap teorinya sendiri dalam periode pertama yang menganggap bahwa kata atau kalimat mendapat makna dengan satu cara saja. 
Ada dua aspek yang terkandung dalam analisa bahasa menurut Wittgenstein II, yaitu aspek penyembuhan (therapeutics) dan cara berfilsafat yang sebaiknya ditempuh (aspek metodis). Aspek penyembuhan yang diajukan Wittgenstein II serupa dengan pemikirannya pada periode pertama, yaitu menghilangkan kekacauan dalam bahasa filsafat.   Aspek metodis yang diperlihatkan Wittgenstein II anatara lain ; bertitik tolak pada penggunaan bahasa sehari-hari dengan meneliti dan membedakan aturan-aturandalam permainan bahasa, menampakkan jalannya bahasa, analisa bahasa harus berfungsi sebagai metode netral dan tidak ikut “latah” memberikan penafsiran  tentang realitas. 
DAFATRA PUSTAKA

Bertens, K. 1990. Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Bakker, Anton. 1984. METODE-METODE  FILSAFAT. Jakarta : Ghalia Indonesia
Hidayat, Asep Ahmad. 2009. FILSAAT BAHASA Mengungkap Hakikat Bahasa, Tanda, dan Makna. Bandung : PT Remaja Rossa karya Offset.
Khoyin Muhammad. 2013. Filsafat Bahasa. Jawa Barat : CV Pustaka Setia.
Mustansyir, Rizal. FILSAFAT ANALITIK. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Malcoml, Norman. 2001. LUDWIG WITTGENSTEIN A MEMOIR. OXFORD :CLARENDON PRESS (Online) https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=JfnyUT7Oo_wC&oi=fnd&pg=PP9&dq=Ludwig+Wittgenstein&ots=g_Y8cAGnJh&sig=o5uIQge2bF5tfiITTUoopNDUFOE&redir_esc=y#v=onepage&q=Ludwig%20Wittgenstein&f=false 



Selasa, 29 April 2014

PERPISAHAN DI AKAKOM JOGJA

    Hari ini tanggal 29 April 2014 kami semua mengatakan suka-duka kami selama PKL di STMIK AKAKOM. Dan disaat bersamaan kami melakukan acara perpisahan, walaupun masih belum puas dengan acara perpisahannya, tapi itu nanti saja. Di pagi tadi kami sesuka hati, tapi acara saya adalah instal windows 8.1 sampai 2 kali, itupun sudah dengan instal beberapa aplikasi dan driver tapi yang pertama masih blue screen. Dan untungnya yang ke-2 berhasil, acara instalnya sampai jam 14 lebih tapi jam 12  sampai jam 13 istirahat. Stelah itu sekitar jam 14 lebih 15 menit kami memulai acara perpisahannya.
    Walaupun tidak semua suka duka dikeluarkan melalui kata-kata. Mungkin karena grogi, takut, dan malu dan lagi ini adalah perpisahan yang sebenarnya sangat tidak saya  inginkan. Tapi perpisahan ini harus terjadi, dan lagi pada perpisahan tadi saya masih belum puas, karena mungkin akan lama nggak ketemu lagi pastinya kangen.
Semasa saya PKL saya rasa baru sebentar dan selama itu saya banyak penyesalan. Diantaranya kenapa tidak dari dulu saya memberi suratnya agar saya lebih lama PKL, karena saya terlambat booking jadi hanya 3 bulan, dan dari sekolah juga tidak memperbolehkan tambah, padahal tahun sebelum saya diperbolehkan nambah asalkan 1 syarat yaitu izin untuk ikut tes kenaikan kelas.
    Saya sebenarnya masih ingin lagi bersama-sama seperti kemarin-kemarin, bisa ngobrol bareng, liat video, dimarahi, dikomen, dan bersendau gurau. Rasanya kalo berpisah sekarang terlalu cepat, dan saya berharap masih bisa bertemu lagi, dan bukan hanya di Pelaminan seperti yang sering di ucapkan  Pak Kuindra.
    Dan saya rasa masih banyak yang ingin saya cari disini baik dari pembimbing, mentor atau groub disekitar. Karena saya merasa seperti baru kenal. Dan saya rasa masih banyak kurangnya saya disini karena saya masih merasa belum bisa membanggakan pembimbing, dan para mentor. Dan saya merasa banyak salah kepada semuanya. Saya minta maaf kepada semuanya terutama sering saya cuekin, biarin, dan yang sayadiamkan, dan saya ucapkan terima kasih  Pak Kuindra  atas bimbingannya,   Mas Dirga, Mas Lutfi dan lainnya karena telah megarahkan dan membagikan ilmunya dan saya ucapkan terima kasih Ira, Bahtiar, Yudistiro, Adief, Tari, Umi, Cucu, Eca, Tia, Tika, Vera, Hafis, Afni, Tasya, ReyAngki, AnzelRino, Putri, Fajar, Nining, Linda, Sekar, dan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu-satu lagi karena telah mau bekerja sama, dan main dengan saya. Karena berkat Kalian semua saya bisa bertahan di STIMIK AKAKOM Yogyakarta . Dan terima kasih AdiBayu, Andika, dan Bahrul karena telah megajari saya. Dan berkat Kalian saya bisa sampai sejauh ini. Somoga setelah keluar dari  STIMIK AKAKOM Yogyakarta kita bisa menjadi orang yang lebih berguna bagi orang tua, masyarakat, dan negara.Mungkin hanya ini yang dapat saya sampaikan. Terima kasih atas semua yang telah Kalian berikan